Allah
Akan Mengirim Pemimpin
Yang
Sesuai Dengan Rakyatnya
[Tafsir Al
An'am Ayat 129]
Diringkas dari
Khutbah Jum'at Ust. Imran Rasyid, Lc. Masjid Al-Fajar 2014
***
Benturan-benturan
antar sendi dalam gejolak kehidupan yang kerap kita rasakan merupakan dampak
nyata adanya ketimpangan antara peradaban dimensi duniawi dan ukhrawi, dimana
pesatnya ilmu pengetahuan dan teknologi tidak lagi diimbangi oleh pengetahuan
tentang ilmu agama sebagai panduan
hakikat terciptanya kedamaian.
Diantara
ciri-ciri kejahilan tersebut adalah merajalelanya cacian, gunjingan dari
berbagai elemen masyarakat terhadap pemimpin, membeberkan aibnya didepan public
bahkan memfitnah dengan perkataan dan perbuatan yang tidak sesuai dengan budaya
Indonesia terlebih lagi syariat Islam. Tak ubahnya "bagai menepuk air
dalam belanga" mereka tidak sadar bahwa semua itu adalah buah dari
status keberadaan mereka sebagai penyebabnya. Mereka lupa bahwa pemimpin adalah
satu cermin dari mayoritas rakyatnya.
Allah Ta'ala
berfirman:
وَكَذَلِكَ نُوَلِّي بَعْضَ الظَّالِمِينَ بَعْضًا بِمَا كَانُوا
يَكْسِبُونَ
"dan Demikianlah
Kami jadikan sebahagian orang-orang yang dzalim itu menjadi wali (pemimpin)
bagi sebahagian yang lain disebabkan apa yang telah mereka usahakan". (QS.
Al An'am[6]:129)
Munasabah ayat:
Dalam ayat
sebelumnya Allah menyatakan bahwa Dia Rabb kalian adalah maha bijaksana dan
maha mengetahui, maka dalam ayat ini Allah memperlihatkan kebijaksanaannya
dengan mengutus kepada masyarakat yang baik seorang pemimpin yang baik, sebaliknya
masyarakat yang buruk akan dikirim pula kepadanya pemimpin yang buruk. Karena Allah
maha mengetahui tentang apa saja yang telah mereka lakukan, maka Allah beri
balasan yang setimpal dengan perbuatan mereka.
Apa yang dimaksud dengan wali pada
ayat ini?
Imam asy-Syaukânîy
–Rahimahullah- dalam kitab tafsirnya Fathu al-Qadîr berkata:
"sebagaimana yang telah diperbuat oleh jin dan
manusia sebelumnya (dalam ayat sebelumnya bahwa manusia dan jin melakukan hal
yang dilarang yaitu saling kerja sama antar mereka) maka kami jadikan diantara
mereka wali (yaitu pemimpin) sebagian yang lain"[1].
Kemudian beliau berkata:
فَمَعْنَى نُوَلِّي
عَلَى هَذا : نَجْعَلُه وَلِياً لَهُ
"Yang
dimaksud menjadikan wali disini adalah wali yang berarti loyalitas dan
kepemimpinan."
Makna ini sesuai dengan apa yang disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah –Rahimahullah- tatkala menjelaskan bab tentang wala'/loyalitas dimana
beliau berkata[2]:
"Loyalitas (wala'/الولاية)
adalah lawan kata permusuhan (العداوة). Dan loyalitas itu berasal dari
cinta dan kedekatan, dan Permusuhan itu berasal dari kebencian dan jarak yang
jauh. Makanya diantara makna wali dalam bahasa arab adalah qarib/dekat
(kerabat)."
Selaras dengan
hadits Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam:
أَلْحِقُوا الْفَرَائِضَ
بِأَهْلِهَا فَمَا أَبْقَت الْفَرَائِضُ فَلِأَوْلَى رَجُلٍ ذَكَرٍ[3]
"berikanlah hak
waris itu kepada ahlinya, dan sisanya untuk wali laki-laki". (HR.
al-Bukhârîy)
Arti wali disini adalah dekat
yaitu untuk laki-laki yang dekat dengan mayit.
Imam as-Suyûthîy
–Rahimahullah- dalam kitab tafsirnya ad-Dûr al-Mantsûr menjelaskan tafsir
ayat ini dari Abdu ibn Humaid dan Ibnu Mundah dan Ibnu Abi Hatim dan Abu Syaikh
mengeluarkan (riwayat) dari Qatadah dalam Firman Allah {وَكَذَلِكَ
نُوَلِّي بَعْضَ الظَالِمِيْنَ بَعْضًا}, Dia berkata:
"sungguh
tidaklah Allah menjadikan pemimpin diantara manusia melainkan sesuai dengan
perbuatan mereka. Orang mukmin pemimpinnya mukmin, dari manapun dia dan
bagaimanapun kondisinya, dan orang kafir akan diberi pemimpin serta
loyalitasnya orang kafir darimanapun dan bagaimanapun kondisinya. Karena Iman
bukanlah sekedar angan-angan dan hiasan belaka. Sungguh aku bersumpah, kalaulah
engkau berbuat ketaatan kepada Allah lantas engkau tidak mengenal pelaku
keataan maka itu tak kan mencelakakanmu, dan kalaulah engkau berbuat maksiat
kepada Allah kemudian engkau dipimpin oleh ahli ketaatan maka itupun tak akan
memberikan manfaat sedikitpun"[4].
Dari sini kita
ketahui bahwa segala yang kita dapatkan adalah buah dari perbuatan kita
sendiri. Dan Allah Maha kuasa untuk mengirim kepada hambanya seorang pemimpin
yang dikehendakiNya.
Inilah Firman Allah Ta'ala yang
semakna:
قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ
تُؤْتِي الْمُلْكَ مَنْ تَشَاءُ وَتَنْزِعُ الْمُلْكَ مِمَّنْ تَشَاءُ وَتُعِزُّ
مَنْ تَشَاءُ وَتُذِلُّ مَنْ تَشَاءُ بِيَدِكَ الْخَيْرُ إِنَّكَ عَلَى كُلِّ
شَيْءٍ قَدِيرٌ
"katakanlah:
Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang
Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki.
Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang
Engkau kehendaki. di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau
Maha Kuasa atas segala sesuatu." (QS. Âli Imrân[3]:26)
Syaikh
Abdulmalik Ramadhaniy menukilkan tafsir Muhammad Haqqiy perihal ayat ini yang
maknanya:
"Jika
kalian dari golongan ahli ketaatan maka Allah akan memberikan pemimpin yang
penuh kasih sayang. dan jika kalian dari golongan pelaku maksiat maka Allah
akan berikan kepada kalian pemimpin yang kejam yang suka menyiksa"[5].
Maka tiadalah
berakhlak dan beradab jika kita selalu menggunjing, pemimpin, mencaci dengan
tuntutan serta mengorek dan membeberkan keburukannya karena semua itu adalah adzab
dari apa yang telah kita perbuat.
Imam asy-Syaukâniy
–Rahimahullah- berkata:
"Itu
semua disebabkan oleh dosa-dosa yang mereka lakukan, maka kami jadikan pimimpin
itu orang yang seperti mereka"[6].
Tersingkaplah bahwa
awal kebaikan negeri ini dimulai dari kebaikan masyarakatnya. Jika
masyarakatnya jujur maka Allah akan utus pemimpin yang jujur, jika
masyarakatnya baik maka Allah akan utus pemimpin yang baik, jika masyarakatnya
santun maka Allah akan utus pemimpin yang santu, dan begitu seterusnya.
Imam as-Suyûthîy –Rahimahullah-
berkata:
وَأَخْرَجَ
أَبُو الشَّيْخ عن مَنْصُوْرٍ بنِ أَبي الْأَسْوَد قَالَ : سَأَلْتُ الأَعْمَشَ عَنْ
قَوْلِهِ {وَكَذَلِكَ نُوَلِّي بَعْضَ الظَالِمِيْنَ بَعْضًا} مَا سَمِعْتَهُمْ يَقُوْلُوْنَ فِيْهِ؟ قَالَ : سَمِعْتُهُمْ
يَقُوْلُوْنَ إِذَا فَسَدَ النَّاسُ أُمِّرَ عَلَيْهِمْ شِرَارُهُمْ.
Abu Syaikh telah mengeluarkan riwayat
dari Manshûr bin Abi al-Aswad, beliau
berkata:
"aku
bertanya kepada al-A'masy tentang ayat ini, apa yang engkau dengar dari mereka
(shahabat atau tabiin) tentang ayat ini? al-A'masy menjawab: aku mendengar
mereka berkata: Jika manusia telah rusak maka mereka akan dipimpin oleh
orang-orang buruk dari mereka"[7].
Faidah Tafsir:
1.
Kunci
kebahagiaan adalah Islam.
2.
Semua
keburukan adalah ulah dari dosa-dosa kita sendiri.
Hendaklah kita
selalu bertaubat dan istiqfar serta berusaha untuk menjauhi maksiat.
3.
Allah
akan mengutus pemimpin sesuai keadaan masyarakatnya.
عَنْ
كَعْب الأَحْبَارِ أَنَّهُ قَالَ: إِنَّ لِكُلِّ زَمَانٍ مَلِكًا يَبْعَثُهُ اللهُ
عَلَى قُلُوْبِ أَهْلِهِ, فَإِذَا أَرَادَ اللهُ بِقَوْمٍ صَلَاحًا بَعَثَ فِيْهِمْ
مُصْلِحًا, وَإِذَا أَرَادَ بِقَوْمٍ هَلَكَةً بَعَثَ فِيْهِمْ مترَفًا .
Dari Ka'ab al-Ahbar,
dia berkata:
"Sungguh
Allah akan mengutus raja(pemimpin) disetiap zaman sesuai dengan hati-hati
penduduknya, jika Allah menginginkan kebaikan terhadap suatu kaum maka diutus
kepada mereka pemimpin yang melakukan perbaikan, dan jika Allah menginginkan
kehancuran terhadap kaum tersebut maka akan diutus kepada mereka pemimpin yang
bermegah-megahan"[8].
Mari kita simak sejarah umat terdahulu yang terukir
sebagai pelajaram, bagaimana keadaan pemimpin mereka;
وقَالَ
عُبَيْدَةُ السَلْمَانِي لِعَلِيٍّ بنِ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: يَا أَمِيْرِ
الْمُؤْمِنِيْنَ مَا بَالُ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرُ اِنْطَاعَ النَاسُ لَهُمَا، وَالدُّنْيَا
عَلَيْهِمَا أَضْيَقُ مِنْ شِبْرٍ فَاتَّسَعَتْ عَلَيْهِمَا وَوُلِيْتَ أَنْتَ وَعُثْمَانُ
الْخِلَافَةَ وَلَمْ يَنْطَاعُوا لَكُمَا، وَقَدْ اِتَّسَعَتْ فَصَارَتْ عَلَيْكُمَا
أَضْيَقَ مِنْ شِبْرٍ؟ فَقَالَ: لِأَنَّ رَعِيَةَ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ كَانُوا مِثْلِي
وَمِثْلَ عُثْمَانَ، وَرَعِيَّتِي أَنَا الْيَوْمَ مِثْلُكَ وَشِبْهُكَ!
Ubaidah
As-Salmânîy berkata kepada Ali bin Abi Thâlib –Radhiyallahu 'Anhu-:
"Wahai
Amiralmukminin, apa gerangan yang membuat manusia taat kepada Abu Bakar dan
Umar? Padahal dahulunya bagi mereka berdua dunia lebih sempit dari sejengkal
tanah, kemudian menjadi luas. Sementara saat engkau dan Utsman menjadi
khalifah, manusia tak menataati kalian berdua, dunia yang dahulunya luas
menjadi lebih sempit dari sejengkal tanah bagi kalian berdua?"
Ali –Radhiyallahu
'anhu- menjawab:
"Karena
rakyatnya dimasa Abu bakar dan Umar adalah seperti aku dan Utsman, sedangkan rakyatku sekarang ini seperti kamu dan orang-orang
yang serupa dengan kamu."[9]
4.
Perbaikan
sebuah negeri berawal dari perbaikan individu.
Mustahil kita
memimpikan seorang pemimpin yang cerdas, kalau kita sendiri malas belajar.
Mustahil kita mendambakan pemimpin yang jujur kalau kita sendiri masih mencuri
waktu, rambu-rambu dan suka berbohong. Mustahil kita menginginkan pemimpin yang
agamis kalau kita sendiri suka bermaksiat. Mustahil kita berangan seorang
pemimpin yang baik dan santun sementara kita sendiri kasar, bengis dan brutal. Maka
seperti perihal kita, seperti itu pulalah pemimpin yang akan Allah berikan kepada
kita.
الله تعالي أعلم
Ditulis oleh: Abu Aisyah Imron Rosyid
bin Nurani bin Muhammad Yusuf Astawijaya.
[1] Muhammad bin Ali bin Muhammad Asy-Syaukânîy w.1250
H, Tafsir Fathu al-Qadîr al-Jâmi' baina Fannai ar-Riwâyah wa ad-Dirâyah min 'Ilmi
at-Tafsîr, (Riyadh: Maktabah Arrusyd, 1430 H/2009 M, Cetakan ke6) h. 63 jilid 2.
[2] Ahmad bin
Abdulhalîm bin Abdussalâm ibnu Taimiyah w.728 H, al-Furqân Baina Auliâ' ar-Rahmân
Wa Auliâ' asy-Syaithân, Tahqîq Basyîr Muhammad 'Uyûn (Riyadh: Maktabah Al Muayyad 1413 H/1992 M cet.
pertama) h. 7.
[4] Abdurrahman bin al-Kamal Jalaluddin Ay-Suyûthiy w.911 H, Tafsir
ad-Dûr al-Manshûr, (Beirut: Dâr al-Fikri, Cet. 1993 M) h.353, Jilid 3.
[5] Lihat: Abdulmalik Ramadhaniy, Kamâ Takûnu Yuwalla
'alaikum, (Maktabah wa Tasjîlât al-Gurabâ' al-Atsariyah, cetakan ke5 1429
H/ 2008 M) h.62.
[9] Abu Bakr Muhammad bin Muhammad Bin Walîd ath-Thurthusiy al-Malikiy
w.520 H, Sirâj al-Mulûk, bab. 41, hal. 94 jilid 1.
0 komentar:
Posting Komentar